Read more: http://pkt-studio.blogspot.com/2012/03/untuk-mencari-tutorial-cara-membuat.html#ixzz1yd6Hmdnt
Read more: http://pkt-studio.blogspot.com/2012/03/untuk-mencari-tutorial-cara-membuat.html#ixzz1yd6T3ElW

Kamis, 06 Desember 2012

tradisi mardikir di mandailing


Dikir adalah salah satu bentuk kesenian Islam yang sudah sejak lama hidup
dan berkembang di luat Mandailing. Seni pertunjukan Dikir terdiri atas
tiga atau empat pemain “gondang dikir” sebagai pengiring nyanyian Dikir,
namun adakalanya salah seorang pemain “gondang dikir” itu sekaligus bertindak
sebagai penyanyi utamanya dan yang lainnya bertindak sebagai “penyanyi
latar”.Seni pertunjukan Dikir ini dapat dikategorikan sebagai “musik polifoni” yang
diselenggarakan pada hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Hari Raya
Islam Idil Fitri. Selain itu, Dikir sering pula dipertunjukkan dalam upacara adapt
perkawinan seperti horja haroan baru dan mebat.
“Gondang Dikir” adalah sejenis rebana berukuran besar dengan diameter 600
hingga 900 mm berbentuk bulat. Bagian atasnya dilapisi membran dari kulit
lembu atau kambing, sedangkan bagian bawahnya tidak ditutup (terbuka). Adapun
Mardikir
lagu-lagu yang dibawakan berbahasa Arab dengan memakai modus-modus
tertentu dari tradisi musik Pan-Islam di Jasirah Arab. Tema lagu antara lain berisi
sejarah Nabi Muhammad SAW, ajaran-ajaran agama Islam dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah dari manakah masuknya
seni pertunjukan Dikir ke Mandailing?
Di sebelah selatan luat Mandailing terdapat etnik Minangkabau yang sejak dari
dahulu sudah mengadakan kontak dengan masyarakat Mandailing. Dalam
hubungan ini dapat dikemukakan bahwa di daerah Mandailing Julu (Kecamatan
Kotanopan) sampai sekarang masih ditemukan tempat-tempat yang bernama
”Garabak ni Agom” di sekitar Huta na Godang. Julukan ”Garabak ni Agom”
diberikan kepada bekas tempat orang Agam (orang Minangkabau) menambang
emas di Mandailing Julu pada masa lalu. Di samping itu dari bahan-bahan bacaan
perihal gerakan Kaum Paderi di Minangkabau dapat diketahui bahwa pada masa
dasa warsa kedua abad ke 19 (antara tahun 1815-1820) Kaum Paderi sudah mulai
memasuki wilayah Mandailing untuk menyebarkan agama Islam. Di tahun-tahun
sebelumnya beberapa raja di Mandailing sudah beragama Islam, tetapi
penyebarannya secara luas waktu itu belum terlaksana, dimana sebagian besar

anak negeri Mandailing masih menganut animisme (kepercayaan sipelebegu).
Dapat ditambahkan, sudah ada pula orang-orang Mandailing yang pergi belajar
agama Islam ke Bonjol, seperti yang dikemukakan oleh Hamka dalam bukunya
Dari Perbendaharaan Lama (1963:96). Sementara itu Kaum Paderi yang
melakukan penyebaran agama Islam di wilayah Mandailing sudah sampai ke
daerah Angkola dan Padang Lawas yang pada masa itu dipimpin oleh Tuanku Rao
dan Tuanku Tambusai (lihat F.M. Schanitger, The Forgotten Kingdom in
Sumatera, 1964:71-84).
Berangkat dari fakta sejarah di atas, bahwa Islam dibawa oleh Kaum Paderi ke
Mandailing, namun kesenian Dikir belum dapat dipastikan berasal atau atas
prakarsa Kaum Paderi. Hal ini mengingat Kaum Paderi sendiri adalah Kaum
Wahabi yang sangat membenci atau tidak membenarkan praktek kesenian.
Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, dimana pada
halaman 179 dituliskan bahwa sebagian kecil dari penduduk Padang Lawas Selatan
sudah beragama Islam, yang berkembang dari Kesultanan Malaka sejak kurang
lebih tahun 1451 M. Apabila keterangan ini dapat dibuktikan kebenarannya,
dimana dari Padang Lawas Selatan tersebut penyebaran agama Islam bergerak ke
Mandailing. Kenyataan ini dapat kita kaitkan pula dengan keterangan bahwa
sebelum Kaum Paderi memasuki wilayah Mandailing sudah ada raja-raja
Mandailing yang memeluk agama Islam. Bahkan lebih awal dari Minangkabau
dimana Syekh Burhanuddin, kira-kira bersamaan dengan masa kejayaan Islam di
Aceh. Sementara itu, di Semenanjung Malaya sendiri hingga sekarang kita
temukan pula praktek pertunjukan Dikir seperti yang dikemukakan oleh William P.
Malm dalam bukunya Music Cultures of the Pacific, The Near East, and Asia, edisi
kedua, halaman 133.
Dari jurusan barat laut, Mandailing berbatasan dengan wilayah Tapanuli Tengah,
dan di pesisir pantai barat ini terletak kota tua Barus yangs ejak dahulu dikenal
sebagai ”kota pelabuhan dan perdagangan” yang banyak dikunjungi oleh para
pedagang dari berbagai penjuru dunia. Di samping itu, kota Barus diasumsikan
sebagai tempat masuknya agama Islam ke wilayah Sumatera Utara.
Di kota perdagangan Barus pada masa itu diperjual-belikan berbagai komoditi dan
salah satu yang cukup potensil dan terkenal adalah komoditi ”kapur barus”. Dalam
hubungan ini diketahui bahwa orang Mandailing ada yang bermata pencaharian
sebagai pencari ”kapur barus” di hutan-hutan dan mungkin juga sekaligus sebagai
pedagangnya. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan bahasa sirkumlokusi yang
mereka pergunakan sewaktu mencari ”kapur barus” di dalam hutan, yaitu ”hata
parkapur” sebagai salah satu dari lima ragam bahasa yang dimiliki suku-bangsa
Mandailing (Marapi, 1957:61).

Bertolak dari fakta di atas tidak tertutup kemungkinan bahwa orang Mandailing
memperdagangkan komoditi ”kapur barusnya” sampai ke kota perdagangan Barus
tersebut, dimana mereka menyusur pantai barat pulau Sumatra yang berawal dari
Natal. Bahkan ada juga kemungkinan bahwa setelah mereka sampai di Barus, ada
pula yang membawa barang dagangannya itu ke kota-kota pusat perdagangan
lainnya seperti ke Malaka atau pun Samudera Pasai di Aceh. Di kota-kota
perdagangan tersebut mereka (orang Mandailing) berdagang dan bergaul dengan
para pedagang Islam seperti dari Persia, Arab, Gujarat dan lain-lain. Sebagai akibat
dari interaksi tersebut, sampai sekarang di daerah Mandailing masih kita dengar
perkataan-perkataan seperti ”ratib jongjong” (dzikir berdiri), ”podang Saidina Ali”
(pedang Saidina Ali), ”tenju Saidina Ali” (tinju Saidina Ali), dan sebagainya,
dimana perkataan-perkataan seperti ini berasal dari paham Islam Syiah, yang
banyak peranannya dalam mengembangkan kesenian dalam dunia Islam.
Dari berbagai keterangan di atas untuk sementara dapat dikemukakan bahwa
kesenian Dikir yang terdapat di Mandailing dibawa oleh para pedagang ”kapur
barus” orang Mandailing ke luat Mandailing. Dimana para pedagang Mandailing
tersebut mengambil kesenian Dikir dari pusat perdagangan pada masa dahulu
(Barus, Malaka, ataupun Sumadera Pasai) dan mereka kembangkan di tanah
leluhurnya, tano sere Mandailing.**
Dimuat dalam Harian Waspada Medan, 1991 (Edi nasution)

0 komentar:

Posting Komentar