Dikir adalah salah satu bentuk kesenian Islam yang
sudah sejak lama hidup
dan berkembang di luat Mandailing. Seni
pertunjukan Dikir terdiri atas
tiga atau empat pemain “gondang dikir” sebagai
pengiring nyanyian Dikir,
namun adakalanya salah seorang pemain “gondang
dikir” itu sekaligus bertindak
sebagai penyanyi utamanya dan yang lainnya bertindak
sebagai “penyanyi
latar”.Seni pertunjukan Dikir ini dapat dikategorikan
sebagai “musik polifoni” yang
diselenggarakan pada hari-hari besar Islam seperti
Maulid Nabi dan Hari Raya
Islam Idil Fitri. Selain itu, Dikir sering pula
dipertunjukkan dalam upacara adapt
perkawinan seperti horja haroan baru dan mebat.
“Gondang Dikir” adalah sejenis rebana berukuran
besar dengan diameter 600
hingga 900 mm berbentuk bulat. Bagian atasnya dilapisi
membran dari kulit
lembu atau kambing, sedangkan bagian bawahnya tidak
ditutup (terbuka). Adapun
|
Mardikir |
lagu-lagu yang dibawakan berbahasa Arab dengan memakai
modus-modus
tertentu dari tradisi musik Pan-Islam di Jasirah Arab.
Tema lagu antara lain berisi
sejarah Nabi Muhammad SAW, ajaran-ajaran agama Islam
dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan bagi kita
adalah dari manakah masuknya
seni pertunjukan Dikir ke Mandailing?
Di sebelah selatan luat Mandailing terdapat
etnik Minangkabau yang sejak dari
dahulu sudah mengadakan kontak dengan masyarakat
Mandailing. Dalam
hubungan ini dapat dikemukakan bahwa di daerah
Mandailing Julu (Kecamatan
Kotanopan) sampai sekarang masih ditemukan tempat-tempat
yang bernama
”Garabak ni Agom” di sekitar Huta na Godang. Julukan ”Garabak
ni Agom”
diberikan kepada bekas tempat orang Agam (orang
Minangkabau) menambang
emas di Mandailing Julu pada masa lalu. Di samping itu
dari bahan-bahan bacaan
perihal gerakan Kaum Paderi di Minangkabau dapat
diketahui bahwa pada masa
dasa warsa kedua abad ke 19 (antara tahun 1815-1820)
Kaum Paderi sudah mulai
memasuki wilayah Mandailing untuk menyebarkan agama
Islam. Di tahun-tahun
sebelumnya beberapa raja di Mandailing sudah beragama
Islam, tetapi
penyebarannya secara luas waktu itu belum terlaksana,
dimana sebagian besar
anak negeri Mandailing masih menganut animisme
(kepercayaan sipelebegu).
Dapat ditambahkan, sudah ada pula orang-orang
Mandailing yang pergi belajar
agama Islam ke Bonjol, seperti yang dikemukakan oleh
Hamka dalam bukunya
Dari Perbendaharaan Lama (1963:96). Sementara itu Kaum Paderi yang
melakukan penyebaran agama Islam di wilayah Mandailing
sudah sampai ke
daerah Angkola dan Padang Lawas yang pada masa itu
dipimpin oleh Tuanku Rao
dan Tuanku Tambusai (lihat F.M. Schanitger, The
Forgotten Kingdom in
Sumatera, 1964:71-84).
Berangkat dari fakta sejarah di atas, bahwa Islam
dibawa oleh Kaum Paderi ke
Mandailing, namun kesenian Dikir belum dapat
dipastikan berasal atau atas
prakarsa Kaum Paderi. Hal ini mengingat Kaum Paderi
sendiri adalah Kaum
Wahabi yang sangat membenci atau tidak membenarkan
praktek kesenian.
Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku
Rao, dimana pada
halaman 179 dituliskan bahwa sebagian kecil dari
penduduk Padang Lawas Selatan
sudah beragama Islam, yang berkembang dari Kesultanan
Malaka sejak kurang
lebih tahun 1451 M. Apabila keterangan ini dapat
dibuktikan kebenarannya,
dimana dari Padang Lawas Selatan tersebut penyebaran
agama Islam bergerak ke
Mandailing. Kenyataan ini dapat kita kaitkan pula
dengan keterangan bahwa
sebelum Kaum Paderi memasuki wilayah Mandailing sudah
ada raja-raja
Mandailing yang memeluk agama Islam. Bahkan lebih awal
dari Minangkabau
dimana Syekh Burhanuddin, kira-kira bersamaan dengan
masa kejayaan Islam di
Aceh. Sementara itu, di Semenanjung Malaya sendiri
hingga sekarang kita
temukan pula praktek pertunjukan Dikir seperti yang
dikemukakan oleh William P.
Malm dalam bukunya Music Cultures of the Pacific,
The Near East, and Asia, edisi
kedua, halaman 133.
Dari jurusan barat laut, Mandailing berbatasan dengan
wilayah Tapanuli Tengah,
dan di pesisir pantai barat ini terletak kota tua
Barus yangs ejak dahulu dikenal
sebagai ”kota pelabuhan dan perdagangan” yang banyak
dikunjungi oleh para
pedagang dari berbagai penjuru dunia. Di samping itu,
kota Barus diasumsikan
sebagai tempat masuknya agama Islam ke wilayah
Sumatera Utara.
Di kota perdagangan Barus pada masa itu
diperjual-belikan berbagai komoditi dan
salah satu yang cukup potensil dan terkenal adalah
komoditi ”kapur barus”. Dalam
hubungan ini diketahui bahwa orang Mandailing ada yang
bermata pencaharian
sebagai pencari ”kapur barus” di hutan-hutan dan
mungkin juga sekaligus sebagai
pedagangnya. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan
bahasa sirkumlokusi yang
mereka pergunakan sewaktu mencari ”kapur barus” di
dalam hutan, yaitu ”hata
parkapur” sebagai salah satu dari lima ragam bahasa
yang dimiliki suku-bangsa
Mandailing (Marapi, 1957:61).
Bertolak dari fakta di atas tidak tertutup kemungkinan
bahwa orang Mandailing
memperdagangkan komoditi ”kapur barusnya” sampai ke
kota perdagangan Barus
tersebut, dimana mereka menyusur pantai barat pulau
Sumatra yang berawal dari
Natal. Bahkan ada juga kemungkinan bahwa setelah
mereka sampai di Barus, ada
pula yang membawa barang dagangannya itu ke kota-kota
pusat perdagangan
lainnya seperti ke Malaka atau pun Samudera Pasai di
Aceh. Di kota-kota
perdagangan tersebut mereka (orang Mandailing)
berdagang dan bergaul dengan
para pedagang Islam seperti dari Persia, Arab, Gujarat
dan lain-lain. Sebagai akibat
dari interaksi tersebut, sampai sekarang di daerah
Mandailing masih kita dengar
perkataan-perkataan seperti ”ratib jongjong” (dzikir
berdiri), ”podang Saidina Ali”
(pedang Saidina Ali), ”tenju Saidina Ali” (tinju
Saidina Ali), dan sebagainya,
dimana perkataan-perkataan seperti ini berasal dari
paham Islam Syiah, yang
banyak peranannya dalam mengembangkan kesenian dalam
dunia Islam.
Dari berbagai keterangan di atas untuk sementara dapat
dikemukakan bahwa
kesenian Dikir yang terdapat di Mandailing dibawa oleh
para pedagang ”kapur
barus” orang Mandailing ke luat Mandailing. Dimana
para pedagang Mandailing
tersebut mengambil kesenian Dikir dari pusat
perdagangan pada masa dahulu
(Barus, Malaka, ataupun Sumadera Pasai) dan mereka
kembangkan di tanah
leluhurnya, tano sere Mandailing.**
Dimuat dalam Harian Waspada Medan, 1991 (Edi nasution)