Read more: http://pkt-studio.blogspot.com/2012/03/untuk-mencari-tutorial-cara-membuat.html#ixzz1yd6Hmdnt
Read more: http://pkt-studio.blogspot.com/2012/03/untuk-mencari-tutorial-cara-membuat.html#ixzz1yd6T3ElW

Senin, 31 Desember 2012

data kepengurusan permata 2012



DATA KEPENGURUSAN PERMATA PERIODE SEPTEMBER 2012

KETUA:                                                               AHMAD RAFI’I
WAKIL KETUA:                                                 KAMALUDDIN
BENDAHARA:                                                   JAMALUDDIN
SEKRETARIS:                                                    JAMALUDDIN
KETUA RAYON:
RAYON CIBINONG/CITEUREUP:                   FAHMI
BOJONGGEDE/CITAYAM:                              ASWAN
CILEDUG DAN SEKITARNYA:                       KUSOR-AHMAD (CAMAT)
TANGERANG:                                                    AKUB
BEKASI:                                                               AHMAD SALIM
PASAR MINGGU/CINERE:                              HAMZAH
CILEUNGSI:                                                        RAMLAN

PENASEHAT:
1.AMALUDDIN
2.H.M YAKUB
3.ABDUL RASYID

PASAL A

KEWAJIBAN PERMATA KEPADA ANGGOTA
*       
PERMATA wajib membayar Rp 400.000 keanggota bilamana orang tua anggota/istri mendapat      musibah kemalangan di kampong dan anggota tersebut pulang kampong.
*      PERMATA wajib membayar Rp 500.000 keanggota bilamana salah satu dari keluarga anggota/istri/anak yang dirawat di rumah sakit dengan jangka waktu 2x24 jam
*      PERMATA wajib membayar Rp 500.000 keanggota bilamana istri dari anggota melahirkan dengan proses operasi Caesar
*      PERMATA wajib membayar Rp.100.000 keanggota yang mengadakan tempat pengajian bulanan PERMATA (konsumsi tuan rumah)

PASAR B

KEWAJIBAN ANGGOTA KE PERMATA
*    
  Menghadiri pengajian setiap bulan
*      Membayar iuran Rp 10.000/bulan,iuran tidak boleh dititipkan ke anggota lain karena berhubungan dengan daftar hadir anggota.bilamana tidak menghadiri pengajian selama 3 bulan berturut turut PERMATA menonaktifkat status keanggotaannya kecuali dengan alas an yang memungkinkan.
*      Membayar list kemalangan/kematian Rp 30.000,-
*      Membayar list Rp 25.000 kepada anggota yang dirawat dirumah sakit selama 7x24 jam.
*      Membayar Rp.100.000 bagi anggota bagi anggota yang ingin masuk sebagai anggota PERMATA







Selasa, 18 Desember 2012

Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Berumur 100 Tahun

Perayaan peringatan seabad pesantren Musthafawiyah di Desa Purba Baru, Kecamatan Lembah Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, berlangsung pada Rabu (12/12/2012). Peringatan ulang tahun ke-100 itu dihadiri Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho dan Bupati Mandailing Natal Hidayat Batubara.
Pesantren itu menampung sedikitnya 7.000 santri yang berasal dari berbagai daerah.
Pimpinan Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru Haji Abdullah Musthafa Nasution, seperti dikutip Humas Pemrov Sumut, mengatakan, pesantren didirikan pada 1912 oleh Syekh Haji Musthafa Husein.
Awalnya pesantren ini didirikan di Desa Tanobato, Kabupaten Mandailing Natal. KarenaTanobato dilanda banjir bandang pada tahun 1915, Musthafawiyah dipindahkan oleh pendiri ke Desa Purba Baru hingga kini.
Kekhasan pesantren ini adalah para santri mendiami semacam gubuk sederhana yang rata-rata berukuran 3 meter x 3 meter yang terlihat berjejer di kanan dan kiri jalan lintas Sumatera. Keberadaan gubuk-gubuk ini adalah salah satu ciri khas pesantren.
Jumlah murid pesantren awalnya hanya sekitar 20 orang dan pada 1916 jumlahnya meningkat menjadi 60 orang. Saat ini 7.000 orang.
Hidayat mengatakan, pesantren purba yang telah membawa pencerahan dalam meningkatkan kecerdasan berpikir dan semangat dalam berkarya demi percepatan pembanguan di Mandailing Natal.
Gatot juga memuji pendidikan di pesantren, apalagi alumninya kini ada yang sudah menjadi dekan dan rektor di Sumut. Ia berjanji memberi bantuan dana Rp 2 miliar pada tahun 2013 untuk gedung pesantren.(KOMPAS)

Senin, 10 Desember 2012

tradisi marsanji di mandailing

Marsanji merupakan kebudayaan di daerah mandailing,Marsanji ini biasanya di lantunkan bila ada pesta perkawinan.Marsanji ini di lantunkan oleh Bujing-bujing(Nauli Bulung).kalau Nauli bulungnya sudah berkumpul,marsanji ini siap dilantunkan di suatu ruangan dimana kedua mempelai di sandingkan,biasanya mempelai wanita diminta untuk marsanji.di situlah tantangannya kalau mempelai wanitanya tidak bisa Marsanji di akan malu sendiri.jadi biasanya kalau wanita kabiasannya sudah pada biasa Marsanji,sebab sebelum di menikah dia akan belajar dulu,karena dia tidak mau di permalukan nantinya,pada saat dia akan memasuki jenjang pernikahan.

Jadi sudah pasti kalau orang yang berasal dari daerah mandailing sudah tidak ada yang tidak tau MARSANJI itu apa.Dan kalu juga ada yang tidak tau,berarti dia bukan orang Mandailing
Di daerah lain Marsanji disebut juga dengan nama Barzanji yang di ambil dari nama pengarangnya yaitu Syekh Ja'far al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim kitab albarzanji ini biasa dilantunkan disaat ada acara acara besar keagamaan seperti Maulid nabi Muhammad SAW,Isra Mi’raj dan bahkan sering juga dibaca sesaat sebelum memulai acara pengajian rutin atapun tablig akbar dan tidak jarang dilakukan di berbagai kesempatan, sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, mencukur rambut bayi (akikah), acara khitanan, pernikahan, dan upacara lainnya. Di masjid-masjid perkampungan, biasanya orang-orang duduk bersimpuh melingkar. Lalu seseorang membacakan Berzanji, yang pada bagian tertentu disahuti oleh jemaah lainnya secara bersamaan. Di tengah lingkaran terdapat nasi tumpeng dan makanan kecil lainnya yang dibuat warga setempat secara gotong-royong. Terdapat adat sebagian masyarakat, dimana pembacaan Berzanji juga dilakukan bersamaan dengan dipindah-pindahkannya bayi yang baru dicukur selama satu putaran dalam lingkaran. Sementara baju atau kain orang-orang yang sudah memegang bayi tersebut, kemudian diberi semprotan atau tetesan minyak wangi atau olesan bedak.
Pada saat ini, perayaan maulid dengan Berzanji seperti itu sudah berkurang, dan umumnya lebih terfokus di pesantren-pesantren kalangan Nahdlatul Ulama (Nahdliyin). Buku Berzanji tidaklah sukar didapatkan, bahkan sekarang ini sudah banyak beredar dengan terjemahannya.

Adapun pengarang kitab Albarzanji ini lahir di Madinah tahun 1690 dan meninggal tahun 1766. Barzanji berasal dari nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzinj. Karya tersebut sebenarnya berjudul 'Iqd al-Jawahir (Bahasa Arab, artinya kalung permata) yang disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw, meskipun kemudian lebih terkenal dengan nama penulisnya.(dari berbagai sumber)

Kamis, 06 Desember 2012

tradisi mardikir di mandailing


Dikir adalah salah satu bentuk kesenian Islam yang sudah sejak lama hidup
dan berkembang di luat Mandailing. Seni pertunjukan Dikir terdiri atas
tiga atau empat pemain “gondang dikir” sebagai pengiring nyanyian Dikir,
namun adakalanya salah seorang pemain “gondang dikir” itu sekaligus bertindak
sebagai penyanyi utamanya dan yang lainnya bertindak sebagai “penyanyi
latar”.Seni pertunjukan Dikir ini dapat dikategorikan sebagai “musik polifoni” yang
diselenggarakan pada hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Hari Raya
Islam Idil Fitri. Selain itu, Dikir sering pula dipertunjukkan dalam upacara adapt
perkawinan seperti horja haroan baru dan mebat.
“Gondang Dikir” adalah sejenis rebana berukuran besar dengan diameter 600
hingga 900 mm berbentuk bulat. Bagian atasnya dilapisi membran dari kulit
lembu atau kambing, sedangkan bagian bawahnya tidak ditutup (terbuka). Adapun
Mardikir
lagu-lagu yang dibawakan berbahasa Arab dengan memakai modus-modus
tertentu dari tradisi musik Pan-Islam di Jasirah Arab. Tema lagu antara lain berisi
sejarah Nabi Muhammad SAW, ajaran-ajaran agama Islam dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah dari manakah masuknya
seni pertunjukan Dikir ke Mandailing?
Di sebelah selatan luat Mandailing terdapat etnik Minangkabau yang sejak dari
dahulu sudah mengadakan kontak dengan masyarakat Mandailing. Dalam
hubungan ini dapat dikemukakan bahwa di daerah Mandailing Julu (Kecamatan
Kotanopan) sampai sekarang masih ditemukan tempat-tempat yang bernama
”Garabak ni Agom” di sekitar Huta na Godang. Julukan ”Garabak ni Agom”
diberikan kepada bekas tempat orang Agam (orang Minangkabau) menambang
emas di Mandailing Julu pada masa lalu. Di samping itu dari bahan-bahan bacaan
perihal gerakan Kaum Paderi di Minangkabau dapat diketahui bahwa pada masa
dasa warsa kedua abad ke 19 (antara tahun 1815-1820) Kaum Paderi sudah mulai
memasuki wilayah Mandailing untuk menyebarkan agama Islam. Di tahun-tahun
sebelumnya beberapa raja di Mandailing sudah beragama Islam, tetapi
penyebarannya secara luas waktu itu belum terlaksana, dimana sebagian besar

anak negeri Mandailing masih menganut animisme (kepercayaan sipelebegu).
Dapat ditambahkan, sudah ada pula orang-orang Mandailing yang pergi belajar
agama Islam ke Bonjol, seperti yang dikemukakan oleh Hamka dalam bukunya
Dari Perbendaharaan Lama (1963:96). Sementara itu Kaum Paderi yang
melakukan penyebaran agama Islam di wilayah Mandailing sudah sampai ke
daerah Angkola dan Padang Lawas yang pada masa itu dipimpin oleh Tuanku Rao
dan Tuanku Tambusai (lihat F.M. Schanitger, The Forgotten Kingdom in
Sumatera, 1964:71-84).
Berangkat dari fakta sejarah di atas, bahwa Islam dibawa oleh Kaum Paderi ke
Mandailing, namun kesenian Dikir belum dapat dipastikan berasal atau atas
prakarsa Kaum Paderi. Hal ini mengingat Kaum Paderi sendiri adalah Kaum
Wahabi yang sangat membenci atau tidak membenarkan praktek kesenian.
Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, dimana pada
halaman 179 dituliskan bahwa sebagian kecil dari penduduk Padang Lawas Selatan
sudah beragama Islam, yang berkembang dari Kesultanan Malaka sejak kurang
lebih tahun 1451 M. Apabila keterangan ini dapat dibuktikan kebenarannya,
dimana dari Padang Lawas Selatan tersebut penyebaran agama Islam bergerak ke
Mandailing. Kenyataan ini dapat kita kaitkan pula dengan keterangan bahwa
sebelum Kaum Paderi memasuki wilayah Mandailing sudah ada raja-raja
Mandailing yang memeluk agama Islam. Bahkan lebih awal dari Minangkabau
dimana Syekh Burhanuddin, kira-kira bersamaan dengan masa kejayaan Islam di
Aceh. Sementara itu, di Semenanjung Malaya sendiri hingga sekarang kita
temukan pula praktek pertunjukan Dikir seperti yang dikemukakan oleh William P.
Malm dalam bukunya Music Cultures of the Pacific, The Near East, and Asia, edisi
kedua, halaman 133.
Dari jurusan barat laut, Mandailing berbatasan dengan wilayah Tapanuli Tengah,
dan di pesisir pantai barat ini terletak kota tua Barus yangs ejak dahulu dikenal
sebagai ”kota pelabuhan dan perdagangan” yang banyak dikunjungi oleh para
pedagang dari berbagai penjuru dunia. Di samping itu, kota Barus diasumsikan
sebagai tempat masuknya agama Islam ke wilayah Sumatera Utara.
Di kota perdagangan Barus pada masa itu diperjual-belikan berbagai komoditi dan
salah satu yang cukup potensil dan terkenal adalah komoditi ”kapur barus”. Dalam
hubungan ini diketahui bahwa orang Mandailing ada yang bermata pencaharian
sebagai pencari ”kapur barus” di hutan-hutan dan mungkin juga sekaligus sebagai
pedagangnya. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan bahasa sirkumlokusi yang
mereka pergunakan sewaktu mencari ”kapur barus” di dalam hutan, yaitu ”hata
parkapur” sebagai salah satu dari lima ragam bahasa yang dimiliki suku-bangsa
Mandailing (Marapi, 1957:61).

Bertolak dari fakta di atas tidak tertutup kemungkinan bahwa orang Mandailing
memperdagangkan komoditi ”kapur barusnya” sampai ke kota perdagangan Barus
tersebut, dimana mereka menyusur pantai barat pulau Sumatra yang berawal dari
Natal. Bahkan ada juga kemungkinan bahwa setelah mereka sampai di Barus, ada
pula yang membawa barang dagangannya itu ke kota-kota pusat perdagangan
lainnya seperti ke Malaka atau pun Samudera Pasai di Aceh. Di kota-kota
perdagangan tersebut mereka (orang Mandailing) berdagang dan bergaul dengan
para pedagang Islam seperti dari Persia, Arab, Gujarat dan lain-lain. Sebagai akibat
dari interaksi tersebut, sampai sekarang di daerah Mandailing masih kita dengar
perkataan-perkataan seperti ”ratib jongjong” (dzikir berdiri), ”podang Saidina Ali”
(pedang Saidina Ali), ”tenju Saidina Ali” (tinju Saidina Ali), dan sebagainya,
dimana perkataan-perkataan seperti ini berasal dari paham Islam Syiah, yang
banyak peranannya dalam mengembangkan kesenian dalam dunia Islam.
Dari berbagai keterangan di atas untuk sementara dapat dikemukakan bahwa
kesenian Dikir yang terdapat di Mandailing dibawa oleh para pedagang ”kapur
barus” orang Mandailing ke luat Mandailing. Dimana para pedagang Mandailing
tersebut mengambil kesenian Dikir dari pusat perdagangan pada masa dahulu
(Barus, Malaka, ataupun Sumadera Pasai) dan mereka kembangkan di tanah
leluhurnya, tano sere Mandailing.**
Dimuat dalam Harian Waspada Medan, 1991 (Edi nasution)